HATI DAN PIKIRAN POSITIF MERUPAKAN KUNCI PENGEMBANGAN IMAN

HATI DAN PIKIRAN POSITIF MERUPAKAN KUNCI PENGEMBANGAN IMAN

Dalam beberapa hari ini saya menyibukkan diri dengan membaca untuk mengenal beberapa sosok fisikawan tersohor pada abad keemasan perkembangan ilmu fisika. Selain dari sisi kemasyuhrannya saya juga ingin mengetahui sosok imani mereka, oleh karena itu saya beruntung dapat membaca beberapa tokoh ilmuwan fisika dan kemudian mencoba memahami ketokohan mereka dan saya berani mengambil kesimpulan yang saya tulis dengan judul di atas. Dari ketiga tokoh yang saya ambil disini, khusus Prof. Heisenberg, dapat saya katakan bahwa beliau dari keluarga biasa diberi anugerah kecerdasan yang luar biasa serta memperoleh pendidikan dari Prof. A. Sommerfeld yang dalam kehidupan pribadinya sangat senang menolong orang, memberikan penyelesaian yang tepat, sehingga perkembangan Heisenberg demikian juga, suka menolong dan sangat mencintai negaranya meskipun sebagai turunan Yahudi beliau disingkirkan. Tokoh kedua adalah Prof. Wolfgang Erns Pauli, fisikawan yang cerdas dari keturunan keluarga ilmuwan dan terhormat, dengan latar belakang katolik kental, dan tokoh yang ketiga adalah Prof. Dirac kelahiran Inggris putra seorang guru bahasa Perancis dan juga sangat cerdas, karena si ayah memberikan pendidikan keras dan tidak berlatar agama tertentu, menjadikan Dirac pendiam dan agak keras kepala. Ketiga tokoh tersebut bertemu dalam suatu pertemuan yang saya ceriterakan sebagai berikut:
Tahun 1927 Heisenberg (nama lengkapnya Werner Karl Heisenberg, fisikawan Jerman kelahiran tahun 1901, pemebang nobel fisika tahun 1932) menyusun kembali hasil percakapan para fisikawan muda di Konferensi Solvay yang membahas pandangan Einstein dan Plank tentang agama. Fisikawan muda yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Wolfgang Ernst Pauli (Fisikawan Austria, kelahiran th. 1900, pemenang nobel fisika 1945) , Heisenberg dan Dirac (nama lengkapnya Paul Adrien Maurice Dirac, Fisikawan Inggris-Amerika kelahiran tahun 1902 pemenang nobel fisika 1933). Dirac saat itu menyatakan:
“Saya rasa kita tidak perlu membahas agama. Jika kita jujur-dan ilmuwan seharusnya demikian- dalam kenyataan agama tidak mempunyai dasar sama sekali. Gagasan adanya Tuhan merupakan produk imajinasi manusia belaka. Yang saya lihat mengapa Allah membiarkan begitu banyak kesengsaraan dan ketidakadilan, eksploitasi orang miskin oleh orang kaya dan semua kengerian lainnya, yang seharus dapat Dia cegah. Jika agama masih diajarkan, itu tidak berarti karena ide-idenya masih meyakinkan kita, tetapi hanya karena sebagian dari kita menginginkan agar kelas bawah itu tenang. Orang yang tenang jauh lebih mudah untuk diatur daripada orang yang selalu tidak puas. Agama adalah semacam opium yang memungkinkan suatu negara untuk menidurkan dirinya menjadi mimpi yang melupakan ketidakadilan yang sedang dilakukan terhadap rakyat. Oleh karena itu diperlukan aliansi yang erat antara dua kekuatan politik besar, Negara dan Gereja. Itulah tepatnya mengapa pernyataan jujur bahwa Allah adalah hanya produk dari imajinasi manusia dicap sebagai yang terburuk dari semua dosa berat.
Heisenberg sendiri tidak memberikan sanggahan, karena sifatnya sangat toleran, sedangkan Pauli, dibesarkan sebagai seorang Katolik, diam beberapa saat, tetapi ketika akhirnya dia diminta pendapatnya, mengatakan: “Nah, teman kita Dirac telah memperoleh agama baru dengan prinsip-prinsipnya yaitu ‘Tidak ada Tuhan’ dan Paul Dirac adalah Nabi-Nya ‘”Semua orang, termasuk Dirac, tertawa..
Namun dalam perkembangan hidup, Dirac sebagai seorang penulis dari sebuah artikel yang muncul di majalah Scientific American edisi Mei 1963, beliau memberikan referensi tentang Allah tidak lagi keras: “tampaknya menjadi salah satu fitur dasar alam bahwa hukum fisika dasar dijelaskan melalui matematika. Anda mungkin bertanya-tanya: Bagaimana alam dapat terwujud dan kita hanya menerimanya. Mungkin seseorang bisa menggambarkan dengan mengatakan bahwa Allah adalah seorang ahli matematika dengan tataran yang sangat tinggi, dan Dia menggunakan matematika sangat maju dalam membangun alam semesta. Kekerdilan kita dalam matematika hanya memungkinkan kita memahami alam semesta serba sedikit, dan merupakan kewajiban kita mengembangkan matematika yang lebih tinggi dan lebih tinggi agar kita bisa berharap untuk memahami alam semesta lebih baik. “
Sebaliknya Pauli yang mengalami kegoncangan hidup khususnya dalam membina rumah tangga, justru menjauh dari gereja.
Inilah suatu gambaran bagaimana seseorang dalam menghadapi hidupnya mengalami perubahan diri termasuk perubahan keimanannya. Oleh karena itu hati dan pikran positif harus selalu ditumbuhkembangkan dalam diri umat manusia, sehingga terpupuklah perubahan diri kearah positif. Hal tersebut ditunjukkan oleh Dirac, sebagai ilmuwan tersohor, pemenang nobel fisika, karena mempunyai pikiraan positif saat menemui kerumitan persoalan fisika tentang pemahaman asal muasal jagad raya, beliau menyadari kekerdilannya, dan memaknai penciptaan alam semesta dengan menggambarkan Tuhan sebagai seorang ahli matematika yang sangat maju. Sebaliknya sama-sama tersohor dan mempunyai latar belakang katolik yang bagus namun karena tidak mempunyai pikiran positif, saat megalami kegetiran hidup justru imannya tidak berkembang dan malahan menjauh dari gereja.
Dapat saya simpulkan bahwa dalam diri kita perlu ditumbuhkembangkan hati dan pikiran positif sehingga dalam memaknai kehidupannya hati dan pikiran positif selalu yang muncul. Oleh karena itu sangat dianjurkan bahwa dalam tugas perutusan tugas utama dalam penggembalaan umat haruslah dapat memberikan kesejukan hati dan pikiran positif dalam pewartaan Sabda Tuhan, karena sabda Tuhan penuh dengan aura cinta kasih maka, nilai Injili mestinya mampu memberikan umat menjadi umat yang berhati dan berpikiran positif.

Tentang Widdi Usada

Penulis blog Lingkungan Taman Selatan yang dilindungi oleh Santo Blasius, terletak di Yogyakarta.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar